Ketika Santri Mengaji



Oleh: Aisyah Hasbara*

Di sini aku terpenjara
Tenggelam dalam pusara hitam yang kusebut cinta
Sisiku berkata ini salah
Namun ego memintaku bertahan
Perih mengikat hatiku
Membuatnya sesak dan mati remuk redam
Jiwaku membatu
Dan ragaku hanya hidup untuk menunggu senyummu
Terkadang aku ingin berlari
Mencari oasis cinta lain yang kan membuatku hidup kembali
Namun lagi-lagi kau membuat kakiku membeku
Lalu aku hanya bisa menangis pedih
Aku terpaku untuk mencintaimu
Tapi kau terus melangkah jauh...
©           
Alisa memandang awan yang menghitam di kejauhan. Semua hitam, gelap. Sepertinya hujan deras akan segera datang. Dilipatnya kertas lusuh berisi puisi amatir yang telah puluhan kali dia baca, lalu kembali memasukkan kertas itu kedalam kotak kecil dipangkuannya. Kertas itu. Kotak itu. Adalah kenangan yang tersisa dari seseorang yang sangat istimewa dalam hidupnya.
Alisa menghela napas berat ketika melihat selembar foto menyembul diantara boneka barbie dan jepit rambut di dalam kotak. Ditariknya foto itu. Sesak tiba-tiba menyeruak dalam dadanya begitu mengingat siapa yang ada dalam foto. Haibara, adiknya. Tersenyum tenang sebelum meniup lilin berangka lima belas bersama Alisa, Ayah dan Ibu mereka di kanan kirinya.
Tanpa sadar dia tersenyum getir. Ingatnya membawa Alisa pada beberapa kenangan menyenangkan dimasa lalu, saat orang-orang yang berharga dalam hidupnya itu belum pergi, meninggalkannya.
 22 oktober 2016
Haibara tersenyum diantara keluarga dan tamu-tamu yang bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya. Tak terbendung rasa senang yang meletup-letup di dalam dadanya. Haru membungkus hatinya saat mengingat bahwa itu adalah kali terakhir dia merayakan ulang tahun dengan keluarga dan sahabatnya. Karena mulai tahun depan, Haibara akan mulai menjalani masa Aliyahnya di pondok pesantren mengikuti jejak sang kakak.
Haibara memejamkan mata sambil mengepalkan tangan di depan dada sebelum meniup lilin ketika lagu selesai dinyanyikan. Setelah mengucapkan permohonan, dia mulai meniup lilin berbentuk angka lima belas itu dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibir tipisnya. Semua orang pun kembali bertepuk tangan dan mengucap selamat sebelum acara pemotongan kue dimulai.
Hari itu, menjadi hari yang tak terlupakan bagi Ai dan keluarganya, enam bulan sebelum tawa Alisa dan Haibara meredup selamanya, bersamaan dengan kecelakaan mobil yang merengut nyawa sang ibu.

“ Entah hanya perasaanku, atau kau memang sering memandang foto Ai akhir-akhir ini?”Alisa menoleh, tampak seorang pria berkulit tan mengambil tempat di hadapannya. Tersenyum.
“ Aku hanya merindukannya, Kai.”
  Kai hanya menghela napas lelah.
“ Sudah berapa lama sejak hari itu?” tanya Kai dengan suara lirih. Pandangan ia arahkan ke luar dinding kaca kafe tempat mereka berada, menatap para pejalan kaki yang berlarian karena langit mulai menumpahkan isinya.
Alisa meringis. “ Hampir satu tahun.” Ia mendesah.“Kenapa? Kau juga merindukannya?”
Kai menoneh dan mendapati Alisa tengah menatap kebagian terdalam wajahnya. Matanya. “Tentu. That very much. Hampir membuat jantungku meledak.”
Alisa hanya terkekeh pelan. Ia kembali menunduk, menatap foto Ai untuk yang terakhir kalinya sebelum kembali ia simpan kedalam kotak.
Tak ada yang bicara lagi. Suara random tetes hujan yang lebat membuat suasana di antara keduanya kian kelam. Kai mengatupkan bibirnya saat melihat raut wajah Alisa berubah murung, apa aku salah bicara?
I miss you too, Lisa.” Kai bergumam berusaha menghibur Alisa.
Alisa mengerutkan keningnya, “ tapi kita bertemu setiap hari. Seharusnya kau mengatakannya ketika aku pergi jauh dan kembali setelahnya.”
Kai mengangguk pelan seraya tersenyum, “tapi Ai berkata kalau aku harus selalu merindukanmu, everytime. Agar aku bisa selalu menghargai keberadaanmu.”
“ Ai yang mengatakannya?”
Kai mengangguk, “dia juga menitipkan pesan maaf karena dulu tak pernah mendengarkan nasihatmu.”
Alisa merasakan jemarinya bergetar. Sekuat apa pun dia menahannya, pada akhirnya perasaan rindu itu menguasainya. Menamparnya. Namun takdir seolah mengejek dengan tidak membiarkannya merengkuh yang dia rindukan.
“ Lagi pula, bukankah kau memang akan pergi jauh?”
Alisa kembali mendongak, menatap Kai yang juga menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Tetaplah disini.” Bisiknya. “ Katakan bahwa ini adalah tindakanku yang paling bodoh. Tapi aku tetap memintamu tinggal.”
Mau tak mau Alisa tertawa pelan. “Aku pergi untuk Ai, Kai. Untuk orang yang sama-sama kita cintai meski dalam pandangan yang berbeda.”
“Bukankah kau juga mencintaiku?” Ucap Kai pelan yang berhasil membuat Alisa mengerjap tidak percaya. Siapa lagi yang memberi tahu rahasia besarnya itu kalau bukan adik tercintanya. Haibara. “ Lalu kenapa kau berpikir untuk menjauh dan bukannya menyatakan perasaanmu setelah Ai meninggal?”
“ karena aku bukan Ai yang bisa menyuarakan isi hatiku dengan gamblang. Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kau juga tak pernah menyatakan perasaanmu pada Ai di saat kau bisa melakukannya?” Tantang Alisa.
Kai berucap dingin.“ Karena dia gay. Sekuat apa pun aku berusaha, Ai tak akan melihatku. Jadi percuma saja.”
 22 April 2018         
            “ Ai baby, Good morning.”
“ Hello my sweet heart."
            “ Berisik!” Alisa membanting pintu lemari asrama sampai menimbulkan suara berdebum keras, matanya menatap tajam ke arah segerombolan santri nakal dari block lain yang sudah usil mengganggu adiknya yang tengah bersiap-siap sebelum berangkat ke sekolah. Dia sendiri heran kenapa adiknya itu tak pernah menanggapi mereka. Ai menutup lemarinya cepat, memalingkan muka dari gerombolan perusuh. Sembari meraih tasnya, dia berbisik  pada Alisa, “sudah,  kita berangkat sekarang saja.”
Semenjak ‘hubungannya’ dengan salah satu pengurus pondok yang mulai menjadi  rahasia umum di pesantren mereka, Ai jadi sering dijadikan bahan ejekan oleh seisi asrama. Untungnya dia ditempatkan di kamar yang sama dengan kakaknya, status Alisa sebagai senior sekaligus ketua kamar cukup membantunya untuk, paling tidak, terhindar dari ejekan teman sekamarnya. 
“ Hei, Alisa! Sampai kapan kau mau jadi bodyguard Ai sweety baby?  celetuk seorang perempuan bertubuh tinggi yang merupakan teman seangkatan Alisa dari dari jurusan berbeda, “kau tahu tidak, kami curiga kalau kau juga terjangkit virus yang sama dengan adikmu itu.”
Anak-anak lain tertawa mendengar ejekan tersebut. Alisa tampak ingin maju membalas perempuan dengan mulut sampahnya itu. namun Ai justru menarik lengan kanannya, agak menyeret, menjauhi gerombolan tersebut.
“ Dasar bitch!”
“ Lepas saja jilbabmu, munafik!”
Gay anjing!”
“ Mahluk menjijikkan!”
Tak jelas siapa salah seorang dari gerombolan itu melempar telur ke arah Ai. Tepat mengenai kepalanya, langsung pecah, mengagetkannya. Cairan kuning putih berbau menyengat itu mengotori jilbab putihnya. Gadis berparas pucat itu jilbab bagian belakangnya sejenak, melihat cairan berlendir itu mengotori ujung jarinya. Dia bisa merasakan cairan tersebut mulai mengalir membasahi seragamnya. Rautnya memerah.
“ Sialan kalian!” Alisa tak bisa menahan diri lagi. Dia merunduk, meraih sepatu Nike putih yang belum sempat di pakainya, dari rak. lalu melemparkannya pada gerombolan perusuh tersebut. Telak, gantian mengenai kepala sosok yang berdiri paling depan.
“ Aarrggghh!! Sakit bodoh!”
“ Baru kena sedikit sudah merengek, dasar bitch!”  Balas Alisa.
“ Hei! Kau ingin mati,ya?!” sebagian dari gerombolan itu langsung maju menyerbu ke arah Alisa dan Haibara.
“ Hentikan! Sudah cukup hentikan!” Ai akhirnya berteriak melerai.
“ Dek, mereka menghina kamu! Kamu mau diejek terus seperti itu?!”
Salah seorang dari perusuh itu hendak melayangkan pukulan ke wajah Alisa ketika gadis itu berpaling ke arah adiknya. Namun Ai melihatnya lebih dulu, dia pun mengangkat tangan kirinya, menangkis pukulan itu, sementara tangan satunya ia hantamkan ke dada salah satu pengejeknya.
Alisa terpekik melihat gadis yang Ai pukul mundur dengan nafas tercekik, dan akhirnya jatuh tergeletak di atas lantai.
Haibara mematung di tempat. Menunduk. Tak sekalipun mendongakkan kepalanya saat dia diseret beberapa pengurus.

Alisa menghembuskan napas gusar. Dia tahu apa yang Kai katakan itu benar. Tapi logikanya seakan tak terima saat ada orang lain membongkar rahasia adiknya dengan begitu gamblangnya.
 “ Untuk itulah aku pergi, Kai.” Balas Alisa tenang meski rasanya ada yang bergemuruh di dalam dadanya. “ Aku ingin memperkenalkan adikku pada siapa saja yang kutemui di tempat-tempat yang kusinggahi. Menjadi backpacker, agar apa yang menimpa Ai tidak terjadi pada santri-santri lain di asrama. Agar para orang tua tidak terlalu keras membatasi hubungan anak-anak mereka dengan lawan jenis sehingga mereka lebih terbiasa dengan sesamanya. Agar para  ustadz-ustadzah tidak selalu menaruh curiga saat para santri berinteraksi dengan lawan jenisnya.” Alisa menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “dan agar para santri yang merasa dirinya straight, tidak lantas membully para two sit  hanya karena mereka berbeda.”  
Kai terdiam saat matanya menangkap penyesalan yang terbungkus harapan di wajah Alisa. Dia tahu Alisa pasti merasakan penyesalan yang dalam atas peristiwa yang menimpa adiknya. Dan tak seharusnya dia mengulur kembai luka yang telah lama tertahan itu. Namun demi apapun, Kai tak bermaksud demikian. Dia hanya tak ingin Alisa juga pergi. Dia tak ingin kehilangan untuk yang kedua kali.
Alisa bangkit dari duduknya. Teringat sesuatu, ia segera meraih ransel lantas mengambil selembar foto dari sana. Diulurkan foto itu pada Kai yang masih terdiam.
“aku membawanya dari kamar Ai. Kupikir, ia akan lebih senang jika kau yang menyimpannya.”
Kai menerima foto itu perlahan, “aku akan menyimpannya. pasti .” ucapnya balas tersenyum.
Usai pertemuan sore itu, tak ada yang tahu apakah akhir perjalanan mereka akan berakhir manis, atau justru sebaliknya.

*             
“ kau bangga dipulangkan dari pondok?”
            Ai masih menunduk, tak menjawab.
            “ Haibara, jawab! Kau bangga dipulangkan dari pondok dengan seragam penuh telur busuk?!”
            “ Tidak, Ayah.” Sahut Ai lirih.
            Sang Ayah mencengkeram setir lebih kuat. Kembali menatap jalan di depannya dengan sorot kelam. “Ayah bahkan belum menyelesaikan pekerjaan di kantor, dan panggilan sialan dari pondokmu mengacaukan segalanya.
            “ Ayah, aku minta maaf....”
            Sang Ayah melirik ke sebelah kirinya, memperhatikan Ai yang duduk tanpa menyandarkan punggungnya. “Jangan kotori mobil!”
            Ai hanya mengangguk. Menutup mata takut seraya menggigit bibir.
            “Ayah sudah mendengar semuanya dari para pengurus pondokmu. Jujur Ayah tidak ingin  percaya ini, tapi banyaknya saksi mata membuat ayah bungkam. Ayah kecewa Haibara. Putri yang selama ini Ayah banggakan, yang Ayah harapkan akan berguna bagi agama dan masyarakat, kini justru memilih jalan yang sesat.”
            “ Maaf, Ayah....”
            Sisa perjalanan pulang petang itu, Haibara berusaha keras agar kaca-kaca di matanya tidak pecah dan kembali menusuk hatinya yang pedih.
*       

  Tepat pukul sembilan malam, ponsel di atas meja belajar bergetar. Ai melirik ponsel itu sekilasyang menampilkan backlight biru sebelum akhirnya mati. Ia memperhatikan jendela kamarnya yang masih terbuka lebar, dengan gorden putih tertiup angin. Membuat udara dinngin masuk ke dalam ruangan.
Ai bangkit dengan langkah malas. Ketika ia menoleh ke arah cermin, tampak pantulan dirinya yang sangat kacau. Mata merah bengkak dengan bentuk pipi yang semakin tirus, juga rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai berantakan. Ai menggeleng sendiri, memalingkan muka.
Sejenak, ia menghela napas sebelum meraih ponselnya. Menyiapkan mental jika dugaannya benar, bahwa yang akan didapatkannya sebentar lagi adalah berita buruk.
Ponsel dinyalakan. Ada satu notifikasi chat dari Vany.
“ Sweet heart, kau ingat ini?”
Ai merasa napasnya terhenti. Foto itu menampakkan beberapa santri putri, dengan jilbab terlepas, tengah merokok. Ai salah satunya.
Detik itu juga, ia langsung menyentuh tombol call.
“ Halo—
“ Kita sudah putus, kan?”
            Sweet heart—
            “ Hentikan Vany!”
            “ Sudah kukatakan kau tak akan bisa lepas dariku, baby.
            Ai jatuh terduduk di atas tempar tidur. Mencengkeram ponsel dengan tangan kirinya yang berkeringat.  “ Kak, tolong hentikan....”
            “ Kau lupa persyaratannya?”
            Ai menjambak rambutnya frustasi. “ Aku tidak bisa— ”
            “ Tentu saja kau bisa, sweety.”
            “ Tolong jangan paksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku sukai.”
            “ Kalau begitu akan kutunjukkan foto barusan pada Alisa.”
            “ Kak, kumohon....”
            Terdengar suara kekehan dari ujung sambungan. “ Bukankah ini lucu? Kau menutup diri dari semua orang, tapi Alisa justru sebaliknya.”
            “ Kak, a-aku punya tabungan....”
            “ Aku tidak butuh tabunganmu, bodoh! Aku butuh kenekatanmu. Aku tahu kau sudah didrop out dari pesantren sialan itu. Jadi, kau bisa menemuiku. Kau tahu kan? Cuma semalam, party, dengan miras, mungkin ‘sedikit’...meth.”
            Aku tidak mau!” Ai menekan kuat-kuat keinginannya untuk berteriak, atau bahkan meraung. Tangan kanannya yang bebas tak sadar dia hantamkan ke tembok, membuat buku-buku jarinya tergesek keras. Berdarah.
            “ Kau sudah  pernah mencicipinya , sweety. Aku tahu kau ingin lagi. Kutunggu kau di luar. Aku tahu kau ada di rumah. Kau tidak kedinginan dengan jendela seperti itu?”
            Ai tersentak. “ Bagaimana kau—”
            “ Sudah kubilang kan, aku selalu mengawasimu. Aku guardian-mu, Baby.”
            Ai melangkah menuju jendela. Angin malam langsung menampar wajah pucatnya. Dalam sesaat, ia tak mampu berkata apa-apa. Hanya sibuk mengatur napas dengan hidung memerah dan bibir yang bergetar.
            “ Hei! Kau menangis? Oh, don’t  worry, Baby. Aku bersamamu.”
            Ai langsung menutup jendela begitu melihat N-MAX hitam mengedipkan lampu dengat tepat ketika ia mengarahkan pandangan ke seberang jalan.
            “ Pergi dari sana, Vany! Aku bisa lapor polisi.” Ancam Ai dengan suara serak.
            “ Waw, anak anjingku sudah berani melawan rupanya.” Vany kembali terkekeh. “Jadi, kau lebih memilih foto itu jatuh ke tangan Alisa dari pada berpesta denganku? Asal kau tahu, semakin lama kau menekan keinginanmu untuk memakai meth, kau bisa crash....”
            “ Persetan. Aku lebih memilih crash!” Ai langsung melemparkan ponselnya kasar pada tembok dekat tempat tidur. Menatap nanar ponselnya yang telah terburai menjadi tiga bagian yang terpisah, di lantai.
            Ai membekap mulut dengan kedua tangan. Berusaha merdam erangan frustasinya. Ia kalut, histeris. Sudah lama ia tertekan dengan sosok Vany yang menjadi pacar gay-nya. Ai tak mengerti mengapa ia bisa jatuh dalam perangkap gadis yang lebih tua dua tahun darinya tersebut. Mungkin saat itu ia merasa punya kakak baru yang mengerti segala kesedihannya. Lebih dewasa dan membuka dunia baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.  Mau mendengarkan dan selalu ada setiap kali dia butuh seseorang. Tak seperti Alisa yang selalu sibuk dengan dunianya, yang banyak berubah semenjak kematian ibunya seolah Haibaralah penyebab kematian ibunya.
            Ai menoleh pada figura di atas nakas samping tempat tidur. Tersenyum miris mentap foto dirinya yang diapit Alisa dan Kai di kanan kirinya.         
            Kakak yang baik. Bahkan kalian sudah memperingatkanku tentang Vany. Dan aku justru tak mendengarkan. Maaf, aku benar-benar minta maaf.
            Ai tahu dia telah membuat kesalahan besar. Vany telah mengendalikannya. Menariknya untuk meninggalkan sahabat dan saudari terbaiknya. Mengubah Ai menjadi sosok yang bahkan dia tak bisa mengenali dirinya sendiri. Membuatnya merasa tak punya pilihan selain mati.
  Perlahan ia merangkak menuju meja belajar, meraih tas ranselnya dengan susah payah. Dari selipan buku jurnalnya ia tersenyum miris melihat cutter yang selalu dibawanya kemana-mana.
Hanya orang gila yang selalu membawa cutter kemana-mana.
Sebelum Vany datang dan menyeretnya untuk melakukan sesuatu yang membuatnya sakit dan muak, ia harus melakukan ini. Dari pada Alisa, Kai, dan Ayahnya semakin kecewa padanya, ia lebih baik melakukan ini.
Ai meraih cutter-nya dengan tangan bergetar. Sadar apa yang akan silakukannya adalah ini salah. Ajaran pesantren tak pernah mendidiknya untuk lari dari takdir Allah.namun Ai sudah putus asa. Motto ‘semua akan indah pada waktunya’ yang pernah diajarkan sang Ibu, lenyap dari kamus otaknya. Seolah ikut menghilang bersama sosok ibu yang pergi dari hidupnya.
Dengan helaan napas pasrah, tanpa pikir apa-apa lagi, ujung cutter itu langsung ia tancapkan tepat di jalur nadi kirinya.

*           
Alisa
            Ah, jika aku mengingat hari itu, aku benar-benar merasa bersalah. Aku terlalu sibuk dengan duniaku, sehingga kurang memberi adikku  kesempatan untuk menyuarakan isi hatinya, tentang apa yang memberatkan pikirannya. Jika saja aku lebih sabar, lebih perhatian dan bersedia mendengarkan, mungkin ia masih mau bertahan. Aku yang membuatnya tak percaya pada siapapun termasuk aku, kakaknya sendiri. Dan sepertinya..., akulah alasan utama dia tak segan menghabisi nyawa malam itu juga. Dengan nadi tersayat tak rapi menggunakan cutter.
            Ai, forensik mengatakan, perlu waktulama sampai kau benar-benar menyayat nadimu dengan sempurna. Aku tak bisa membayangkan sakit yang kau rasakan. Bahkan kau menjalaninya sendirian. Hari itu, rasanya aku ingin menyusulmu saja, bersimpuh memohon maaf darimu, Dek....
            Bahkan ketika seorang polisi datang ke pesantren dan menyampaikan berita duka itu, aku langsung berlari menuju rumah. Tak kupedulikan seberapa jauh jarak yang harus kutempuh, tak pernah ingat seberapa perih dan letih kaki ini berlari. Dan ketika aku masuk ke dalam kamarmu, aku merasa kepalaku memutih seketika, menemukanmu tergeletak pucat pasi kekurangan darah.
            Ai, mungkin benar. Kau adalah korban bully Vany dan teman-teman sekolah yang lain. Tapi sepertinya, kematianmu berawal dariku. Aku yang menyebabkannya. Aku yang mendorongmu melakukannya. Seharusnya akubisa lebih menjagamu kan, Ai. Aku yakin Ibu pasti sangat kecewa padaku. Bahkan Ayah ikut menyusul kalian karena depresi memikirkanmu. Bodohnya aku yang tak bisa ‘membaca’ Adikku sendiri. Yang tak pernah mendengarkanmu.
            Dek, kau hanya ingin didengar, kan?
            Kakak macam apa aku ini.
Gapura, 5 November 2018

*Siswi kelas dua MA Putri Nasyatul Muta’allimin Gapura Timur Sumenep aktif di komunitas Sanggar Kencana.lahir pada tanggal 22 Oktober 2001 di Surabaya.

Komentar